Al-Jama’ah dan Kewajiban Menetapinya


Kabarmajalengka.com
 – Setiap Muslim harus meyakini dengan keimanan yang benar apa pun yang disampaikan Allah Subhanahu wata’ala dalam al Qur’an. Sebab jika tidak meyakini sedikit saja isi dari al Qur’an, maka hukumnya ia telah menjadi kafir. Inilah dalil bagi orang yang mengingkari, ragu-ragu, tidak percaya atas setiap pesan kebaikan yang ada di dalam al Qur’an.

Prolog

Meragukan al Qur’an berarti KAFIR

Menurut Syeikh Muhammad Khudari Beik dalam kitab Tarikh at-Tasyri’ al-Islam menyatakan bahwa, “al Qur’an adalah lafadz (firman) Allah yang berbahasa Arab, yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk dipahami isinya dan selalu diingat, diamalkan, yang disampaikan dengan cara mutawatir, yang ditulis dalam mushaf, yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.”

Sebagai salah satu dasar hukum Islam dan sebagai kalamullah, al Qur’an terjaga kemurniannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam surat Al Hijr ayat 9,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Qs. Al Hijr : 9)

 

Menurut ayat di atas, sejak al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga akhir zaman nanti kemurniannya akan tetap terjaga. Artinya, tidak akan pernah ada perubahan sekecil apapun pada al Qur’an karena baik manusia maupun jin tidak dapat melakukannya meskipun mereka bersekutu untuk merubah Al Qur’an.

Tidak sedikit jumlah ayat dalam al Qur’an yang menggambarkan ketidakmampuan manusia (dan jin) untuk membuat kitab yang serupa dengan Al Qur’an, di antaranya adalah  surat At-Tur ayat 33-34 dan surat Al isra’ ayat 88. Dalam surat At-Tur ayat 33-34 Allah Ta’ala berfirman, yang artinya,

فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ. أَمْ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ ۚ بَلْ لَا يُؤْمِنُونَ

“Ataukah mereka berkata, “Dia (Muhammad) mereka-rekanya.” Tidak! Merekalah yang tidak beriman. Maka cobalah mereka membuat yang semisal dengannya (Al Qur’an) jika mereka orang-orang yang benar.” (Qs. At-Tur : 33-34).

 

Kemudian, dalam surat Al isra’ ayat 88 Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (Qs. Al Isra’: 88).

Mengapa al Qur’an tidak dapat dipalsukan atau dirubah oleh manusia atau jin? Karena banyak umat Islam yang menjaga al Qur’an dengan cara menghafal. Manfaat menghafal al Qur’aninilah yang menjadi jaminan tetap murni dan aslinya Al Qur’an hingga akhir zaman nanti.

Karena itulah, bagi umat Islam, meyakini kemurnian dan keaslian Al Qur’an merupakan bagian dari rukun iman. Sebaliknya, ragu terhadap isi al Qur’an, walau hanya satu atau setengah ayat, maka hukumnya KAFIR.

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2017 tentang Hukum Meragukan Kesempurnaan al Qur’an yang menyatakan bahwa meragukan kesempurnaan al Qur’an hukumnya adalah KAFIR.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Keraguan terhadap al Qur’an adalah kekufuran.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasai, dan al-Thabrani).

Semoga siapa pun dari umat Islam ini yang membaca tulisan ini dan akhirnya memahami bahwa kehidupan ber-Jama’ah itu adalah suatu kewajiban yang sumbernya jelas dari al Qur’an dan as Sunnah tidak meragukannya dan berusaha untuk bersama-sama mengamalkannya atas dasar keyakinan akan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Apa itu Al-Jama’ah?

Bisa jadi, tidak setiap Muslim tahu dan kenal apa itu Al-Jama’ah. Dalam tulisan kali ini, redaksi akan membahas dan mengulas tentang apa itu Al-Jama’ah dan seperti apa seharusnya kewajiban seorang Muslim terhadap Al-Jama’ah. Tulisan ini diringkas dari beberapa sumber, salah satunya adalah buku karya KH. Arif Hizbullah, M.A yang berjudul, “Jama’ah, Imamah dan Bai’at adalah Syariat Islam Berdasarkan al Qur’an dan as Sunnah”. Berikut bahasan yang bisa disarikan dari buku tersebut.

Makna menurut bahasa, Al-Jama’ah berasal dari kata, جَمَعَ – يَجْمَعُ – جَمْعًا / جَمَاعَةً artinya kumpulan atau himpunan. Jadi menurut bahasa Al-Jama’ah adalah kumpulan atau himpunan tertentu bukan sembarang himpunan atau kumpulan. Sekali lagi bukan sembarang kumpulan tanpa makna dan tujuan.

Sedangkan menurut istilah, Al-Jama’ah adalah Jama’atul Muslimin sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Hudzaifah bin Al-Yaman yang berbunyi:

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ

 “… Tetaplah engkau  pada Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka …”

Sementara yang dimaksud dengan Al-Jama’ah, seperti yang dijelaskan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang berbunyi:

اَلسُّنَّةُ وَاللهِ سُنَّةُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاْلبِدْعَةُمَا فَارَقَهَا وَ اَلْجَمَاعَةُ وَاللهِ مُجَامَعَةُ أَهْلِ اْلحَقِّ وَإِنْ قَلُّوْاوَ اْلفُرْقَةُ مُجَامَعَةُ أَهْلِ اْلبَاطِلِ وَاِنْ كَثَرُوْا

 “Demi Allah, sunnah itu adalah sunnah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bid’ah itu adalah apa-apa yang memperselisihinya. Dan demi Allah, Al-Jama’ah itu adalah berkumpulnya ahlul haq sekalipun mereka sedikit dan Firqah itu adalah berkumpulnya ahlul bathil sekalipun mereka banyak.” (Hamisy Musnad Imam Ahmad bin Hambal: I/109)

Setiap Muslim Diperintahkan Menetapi Al-Jama’ah

Tahukah kita, Allah dan Rasul-Nya mengajak umat Islam untuk menetapi Al-Jama’ah, berada di dalamnya agar hidupnya terpimpin, terarah dan mudah untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, insya Allah. Setidaknya ada beberapa dalil yang harus diyakini mengapa Allah dan Nabi-Nya memerintahkan setiap Muslim untuk hidup dalam Al-Jama’ah. Untuk memantapkan hati bahwa ber-Jama’ah itu adalah kewajiban setiap Muslim, beberapa dalil berikut ini semoga menjadi penguat.

Pertama, firman Allah dalam Qs. Ali Imran ayat 103. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

 

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا وَاذْكُرُوْانِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْفَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِفَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ{أل عمران:103

“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah seraya ber-Jama’ah, dan janganlah kamu ber-firqah-firqah (bergolong-golongan), dan ingatlah akan ni’mat Allah atas kamu tatkala kamu dahulu bermusuh-musuhan maka Allah jinakkan antara hati-hati kamu, maka dengan ni’mat itu kamu menjadi bersaudara, padahal kamu dahulunya telah berada di tepi jurang api Neraka, tetapi Dia (Allah) menyelamatkan kamu dari padanya; begitulah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu, supaya kamu mendapat petunjuk.” (Qs. Ali ‘Imran: 103)

Kalimat, وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا, “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada pada tali Allah seraya ber-JAMA’AH, dan janganlah kamu berfirqah-firqah (berpecah-belah)…” (Qs. Ali Imran: 103). Kata “Al-Jama’ah” pada ayat ini artinya adalah ber-Jama’ah (bersama-sama/bersatu padu).

Sesuai dengan penjelasan dari para ahli tafsir antara lain; pertama, sesuai dengan makna yang diberikan oleh para ahli Tafsir, di antaranya Abdullah bin Mas’ud, ia menyebutkan bahwa kata Jami’an yang dimaksud adalah “Al Jama’ah” (Tafsir Al-Qurthuby:III/159, Tafsir Jaami’ul Bayan: IV/21).

Kedua, adanya qorinah lafdziyah, yaitu Wala Tafarroqu setelah kalimat Jami’an, Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah “Allah memerintahkan kepada mereka dengan ber-Jama’ah dan melarang mereka berfirqah-firqah (pecah-belah).” (Tafsir Ibnu Katsir: I/189).

Ketiga, Az-Zajjaj berkata, “Kalimat Jami’an dibaca nashab, karena menjadi Haal.” (Tafsir Zaadul Masir: I/433). Maka artinya secara ber-Jama’ah dalam berpegang teguh pada tali Allah. (Tafsir Abi Suud: II/66).

Tidak semua kalimat “Jami’an” dalam al Qur’an artinya “bersama-sama (ber-Jama’ah / bersatu padu)”, seperti halnya tidak semua kalimat “Jami’an” berarti “keseluruhan/semuanya”. Sedikitnya ada empat ayat dalam al Qur’an yang kalimat “Jami’an” harus diartikan “bersama-sama (ber-Jama’ah/bersatu padu)”, yaitu: surat Ali Imran: 103, surat An-Nisa: 71, surat An Nur: 61 dan surat Al-Hasyr: 14.

Kedua, hadits dari Hudzaifah bin Yaman Radliallahu ‘anhu yang berkata,

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْيُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّفَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَنَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِدَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُمِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْدُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيهَاقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَاوَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَقَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْلَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْتَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ.

Artinya, “Adalah orang-orang (para sahabat) bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kebaikan dan saya bertanya kepada Rasulullah tentang kejahatan. Saya khawatir kejahatan itu menimpa diriku, maka saya bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada di dalam Jahiliyah dan kejahatan, maka Allah mendatangkan kepada kami dengan kebaikan ini (Islam). Apakah sesudah kebaikan ini timbul kejahatan? 

Rasulullah menjawab, “Benar!” Saya bertanya, “Apakah sesudah kejahatan itu datang kebaikan?” Rasulullah menjawab, “Benar, tetapi di dalamnya ada kekeruhan (dakhan).” Saya bertanya, “Apakah kekeruhannya itu?” Rasulullah menjawab, “Yaitu orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku. (dalam riwayat Muslim) dikatakan, “Kaum yang berperilaku bukan dari Sunnahku dan orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau ketahui dari mereka itu dan engkau ingkari.” Aku bertanya, “Apakah sesudah kebaikan itu akan ada lagi keburukan?”

Rasulullah menjawab, “Ya, yaitu adanya penyeru-penyeru yang mengajak ke pintu-pintu Jahannam. Siapa mengikuti ajakan mereka, maka mereka melemparkannya ke dalam Jahannam itu.” Aku bertanya, “Ya Rasulullah, tunjukkanlah sifat-sifat mereka itu kepada kami.” Rasulullah menjawab, “Mereka itu dari kulit-kulit kita dan berbicara menurut lidah-lidah (bahasa) kita.”

Aku bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keadaan yang demikian?” Rasulullah bersabda, “Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka!” Aku bertanya, “Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imaam?” Rasulullah bersabda, “Hendaklah engkau keluar menjauhi firqah-firqah itu semuanya, walaupun engkau sampai menggigit akar kayu hingga kematian menjumpaimu, engkau tetap demikian.” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul Fitan: IX/65, Muslim, Shahih Muslim: II/134-135 dan Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah: II/475. Lafadz Al-Bukhari).

Semakin jelas tentunya bagi seorang Muslim yang lurus imannya, tentang dalil yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab pertanyaan sahabat Hudzaifah bin Yaman di atas. Lalu, masihkah ada  yang meragukan kewajiban menetapi Al-Jama’ah?

Ketiga, untuk menambah tebal keyakinan kita tentang wajibnya hidup ber-Jama’ah bagi seorang Muslim laki-laki dan perempuan, maka perhatikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini,

إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثًا يَرْضَىلَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِاللَّهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَأَنْ تُنَاصِحُوا مَنْ ولاَّهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْوَيَسْخَطُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ

“Sesungguhnya Allah itu ridha kepada kamu pada tiga perkara dan benci kepada tiga perkara. Adapun (3 perkara) yang menjadikan Allah ridha kepada kamu adalah: 1). Hendaklah kamu mengibadati-Nya dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, 2). Hendaklah kamu berpegang-teguh dengan tali Allah seraya ber-Jama’ah dan janganlah kamu ber-firqah-firqah, 3). Dan hendaklah kamu senantiasa menasihati kepada seseorang yang Allah telah menyerahkan kepemimpinan kepadanya dalam urusanmu. Dan Allah membenci kepadamu 3 perkara; 1). Dikatakan mengatakan (mengatakan sesuatu yang belum jelas kebenarannya), 2). Menghambur-hamburkan harta benda, 3). Banyak bertanya (yang tidak berfaidah).” (HR. Ahmad, Musnad Imam Ahmad dalam Musnad Abu Hurairah, Muslim, Shahih Muslim: II/6. Lafadz Ahmad)

Salah satu poin dalam hadits di atas yang menjadikan Allah ridha kepada hamba-Nya adalah hidup ber-Jama’ah di bawah pimpinan seorang imam, atau amir. Allah melarang hamba-Nya untuk hidup berpecah-belah dan saling membanggakan kelompoknya masing-masing. Sampai disini, masihkah kita meragukan tentang kewajiban hidup ber-Jama’ah?

Keempat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَنَا أّمُرُكْم بِخَمْسٍ أَللهُ أَمَرَنِى بِهِنَّ : بِاْلجَمَاعَةِوَالسَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ وَ الْهِجْرَةِ وَ اْلجِهَادِ فِى سَبِيْلِ اللهِ ،فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ اْلجَمَاعَةِ قِيْدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَاْلإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ إِلَى اَنْ يَرْجِعَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَىاْلجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ مِنْ جُثَاءِ جَهَنَّمَ، قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ اِنْصَامَ وَصَلَّى ، قَالَ وَاِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌفَادْعُوا اْلمُسْلِمِيْنَ بِمَا سَمَّاهُمُ اْلمُسْلِمِيْنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ عِبَادَاللهِ عَزَّ وَ جَلَّ

 “Aku perintahkan kepada kamu sekalian (muslimin) lima perkara, seperti Allah telah memerintahkanku dengan lima perkara itu, yakini; ber-Jama’ah, mendengar, thaat, hijrah dan jihad fie sabilillah. Siapa yang keluar dari Al-Jama’ah sekedar sejengkal, maka sungguh terlepas ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali bertaubat. Dan siapa yang menyeru dengan seruan Jahiliyyah, maka ia termasuk golongan orang yang bertekuk lutut dalam Jahannam.”

Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, jika ia shaum dan shalat?” Rasul bersabda, “Sekalipun ia shaum dan shalat dan mengaku dirinya seorang Muslim, maka panggillah olehmu orang-orang Muslim itu dengan nama yang Allah telah berikan kepada mereka; “Al-Muslimin, Al Mukminin, hamba-hamba Allah ‘Azza wa jalla.” (HR. Ahmad bin Hambal dari Haris Al-Asy’ari, Musnad Ahmad: IV/202, At-Tirmidzi Sunan At-Tirmidzi Kitabul Amtsal, bab Maa Jaa’a fi matsalis Shalati wa shiyami wa shodaqoti: V/148-149 No. 2263. Lafadz Ahmad).

Kelima perkara dalam hadits di atas yang manakah yang sudah kita amalkan? Bukankah kita seorang Muslim? Sudahkah kita hidup ber-Jama’ah? Sam’i (mendengar) untuk selalu menuntut ilmu, menaati Allah, Rasul dan Ulil Amri (Qs. An Nisa: 59), Hijrah, dari kondisi hidup tanpa ber-Jama’ah kepada hidup ber-Jama’ah? Dan menguatkan niat untuk mempersiapkan diri berjihad di jalan Allah?

Kelima, karena pentingnya hidup ber-Jama’ah itu, sampai Khalifah Umar bin Al-Khattab pernah berkata,

إِنَّهُ لاَ إِسْلاَمَ إِلاَّ بِجَمَاعَةٍ وَلاَ جَمَاعَةَ إِلاَّ بِإِمَارَةٍ وَلاَإِمَارَةَ إِلاَّ بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةًلَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلاَكًا لَهُوَلَهُمْ

 Artinya, “Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan ber-Jama’ah, dan tidak ada Jama’ah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ditaati, maka siapa yang kaum itu mengangkatnya sebagai pemimpin atas dasar kefahaman, maka kesejahteraan baginya dan bagi kaum tersebut tetapi siapa yang kaum itu mengangkatnya bukan atas dasar kefahaman, maka kerusakan baginya dan bagi mereka.” (HR. Ad-Darimi Sunan Ad-Darimi dalam bab Dzihabul ‘ilmi: I/79).

Perkataan Umar di atas, syarat akan makna. Sampai ia mengatakan tidaklah ada Islam jika tidak diamalkan dengan cara hidup ber-Jama’ah. Dan bukanlah sebuah Jama’ah bila tidak ada pemimpinnya. Dan apa artinya ada seorang pemimpin bila tidak ditaati. Sungguh beruntung orang-orang yang hidup ber-Jama’ah dan mengangkat pemimpin yang faham tentang agama Allah ini.

Keenam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ اْلقَاصِيَةِ

“…maka wajib atas kamu ber-Jama’ah, karena sesungguhnya srigala itu makan kambing yang sendirian.” (HR. Abu Dawud dari Abi Darda, Sunan Abi Daud dalam Kitabus Shalah: I/150 No. 547).

Secara logika sederhana, seekor Domba atau Kambing yang menyendiri dari kelompoknya, maka tentu saja ia menjadi incaran Harimau, Serigala dan binatang pemangsa lainnya. Namun sebaliknya, selemah apa pun seekor Domba, bila ia berda dalam kesatuan kelompoknya, maka Harimau dan Srigala pun berfikir dua kali untuk memangsanya.

Begitu pula kondisi kita sebagai seorang Muslim. Fitnah akan terus berdatangan, silih berganti menimpa, bahkan mungkin ancaman demi ancaman pun akan datang, bila hidupnya tidak ber-Jama’ah, tidak bersatu padu dalam sebuah wadah Al-Jama’ah. Semoga dengan penjelasan yang bersumber dari al Qur’an, al Hadits dan atsar para sahabat mulia di atas, setiap Muslim memantapkan hatinya untuk segera bersama-sama menetapi Al-Jama’ah. Masihkah ada keraguan pada ayat al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam? Wallahua’alam.[BA] 

Admin

kabarmajalengka.com | Membersamai Kebenaran, Menolak Kebohongan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama